Evaluasi Presidensi Indonesia di Dewan Keamanan PBB

Oleh Fitriani
Peneliti Departemen Hubungan Internasional, CSIS, dosen Hubungan Internasional UI

Indonesia baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai Presiden Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk bulan Agustus, dan akan terus duduk di organ ini hingga akhir tahun. Menduduki kursi sebagai anggota DK PBB adalah bukan hal yang asing bagi Indonesia. Sebelum periode dua tahun belakangan ini, Indonesia telah beberapa kali terpilih sebagai anggota non-permanen DK PBB, yakni pada tahun 1973-1974, 1995-1996, dan 2007-2008.

Terdapat konsistensi periodik sebelas tahunan bagi Indonesia untuk duduk di organ yang sangat berpengaruh di PBB. Tulisan ini mengkaji makna posisi Indonesia di DK PBB, pencapaiannya di periode ini, dan isu apa yang dapat diangkat jika ingin kembali ikut dalam pemilihan menjadi anggota tidak tetap di masa mendatang.

Makna Keanggotaan
Indonesia memiliki komitmen kuat untuk terlibat di PBB sebagai pengejawantahan dari amanat UUD 1945 yang menginginkan peranan aktif dalam penciptaan perdamaian dunia. Doktrin politik luar negeri bebas aktif yang dimiliki Indonesia juga masih sangat relevan dalam menghadapi kontestasi kekuatan Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang meruncing. Doktrin tersebut menjadi modal bagi Indonesia untuk berperan sebagai jembatan yang menengahi pertentangan negara adidaya, sehingga bisa menjadi contoh bagi negara lain di PBB dalam bermanuver mencapai konsensus.

Secara spesifik, menjadi bagian dari DK PBB adalah capaian yang signifikan bagi Indonesia. Sebab, organ ini bertugas memastikan terjaganya perdamaian dunia dengan kemampuannya mengeluarkan resolusi yang mengikat dan melakukan intervensi, antara lain melalui pengiriman misi perdamaian ataupun pemberian sanksi dan embargo.

Saat ini, pandemi Covid-19 memperburuk kondisi dunia terutama di wilayah konflik karena banyaknya negara yang mengurangi interaksi dan bantuan luar negeri. Oleh karena itu, Indonesia dapat mendorong DK PBB berperan lebih besar dalam memberi bantuan keamanan untuk tata kelola kesehatan dan penanganan krisis. Hadirnya Indonesia di DK PBB memastikan bahwa penanganan pandemi dilakukan dengan memperhatikan nasib negara-negara kecil dan berkembang yang memiliki sumber daya terbatas.

Capaian Indonesia
Saat duduk di Presidensi DK PBB sebelumnya pada Mei 2019, Indonesia mampu menyelenggarakan dua debat terbuka mengenai kapasitas misi penjaga perdamaian PBB dan perlindungan warga sipil di ranah konflik. Indonesia juga mengadakan pembahasan informal (Arria Formula) mengenai isu Palestina, yang meskipun mendapatkan kritik keras dari Amerika Serikat, negara tersebut tetap ikut serta. Tidak hanya itu, promosi kebudayaan dan kerja-kerja perdamaian Indonesia juga mampu ditampilkan di DK PBB melalui diplomasi batik, pameran foto Kontingen Garuda, serta pertunjukan budaya.

Pada tahun ini, Presidensi Indonesia di DK PBB melaksanakan 50 kegiatan, baik secara virtual maupun pertemuan tatap muka, serta melakukan diplomasi tenun. Dua pertemuan tingkat tinggi dipimpin Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, yakni debat terbuka mengenai pembangunan perdamaian dalam masa pandemi dan kaitan antara terorisme dengan kejahatan terorganisir. Selain itu, Indonesia memimpin forum Arria Formula mengenai serangan siber terhadap infrastruktur utama negara yang berpotensi memantik konflik hingga peperangan.

Mengenai jumlah resolusi yang dihasilkan, presidensi Indonesia tahun lalu dan kini sama-sama melahirkan empat resolusi. Perbedaannya adalah keempat resolusi pada presidensi sebelumnya merupakan perpanjangan mandat dan sanksi yang sudah ada, yakni nisi PBB di Somalia, Irak dan Abyei, serta panel ahli di Sudan Selatan. Sementara tahun ini Indonesia berhasil mengeluarkan tiga resolusi yang bersifat perpanjangan mandat (Lebanon, Somalia dan rezim sanksi Mali) dan mendorong diterimanya resolusi inisiatif Indonesia yakni tentang personel penjaga perdamaian perempuan, yakni Resolusi 2538.

Resolusi 2538 merupakan pencapaian dalam sejarah diplomasi Indonesia karena disponsori oleh seluruh negara anggota DK PBB dan 82 negara lainnya. Tercapainya resolusi tersebut juga merupakan penghargaan atas konsistensi Indonesia mempromosikan pengiriman pasukan perdamaian, terutama pasukan perdamaian perempuan, ke misi PBB.

Tantangan dan Kesempatan
Meskipun sudah banyak capaian di DK PBB, perlu disadari bahwa posisi tawar Indonesia sebagai negara non-permanen masih terbatas. Itu tercermin dari tidak lolosnya satu resolusi inisiatif Indonesia mengenai penuntutan, rehabilitasi, dan reintegrasi teroris yang meski sudah mendapat dukungan dari 14 negara anggota DK lainnya, tidak diterima AS. Draf resolusi tersebut sudah disirkulasi ke seluruh anggota DK PBB dan sudah mengikutsertakan masukan AS dan Rusia dalam revisinya, namun AS tetap menggunakan hak veto.

Ada beberapa ahli yang melihat bahwa veto AS ini adalah upaya balas dendam bagi Indonesia yang pada pertengahan Agustus 2020 tidak mendukung inisiatif resolusinya untuk memperpanjang embargo terhadap Iran. Sebelumnya, pada tahun 2008, Indonesia juga memilih abstain dalam voting resolusi DK PBB atas Iran.

Namun lebih jauh dari itu, terdapat dua pembelajaran yang bisa diambil dari veto AS. Pertama, periodisasi singkat dua tahun bagi anggota non-permanen di DK PBB tidak membuat negara adidaya memikirkan negosiasi jangka panjang dalam upaya diplomasinya. Kedua, terdapat ketidakadilan inheren dalam sistem DK PBB yang membuat pemain diuntungkan, yakni lima anggota permanen, menggunakan hak vetonya untuk menghambat kemajuan nyata dalam penciptaan perdamaian. Menyadari kondisi tersebut, penting bagi Indonesia untuk menuntut perubahan mendasar dalam mekanisme DK PBB.

Ada kesempatan mendorong reformasi DK PBB untuk memberi peran lebih besar bagi negara non-permanen. Isu reformasi DK PBB merupakan perjuangan yang bisa dipindahtangankan pada negara non-permanen lainnya yang akan duduk di DK PBB untuk memperbaiki cara kerja organ ini.

Selain itu, masih ada kesempatan empat bulan bagi Indonesia untuk merampungkan keanggotannya di DK PBB secara mumpuni. Meski AS mengeluarkan vetonya, Indonesia harus terus berperan mendorong konsensus di tengah pertarungan pengaruh negara besar melalui diplomasi senyap (quite diplomacy). Pada saatnya nanti, negara-negara lain akan menilai baik bila Indonesia tetap berpegang pada prinsip perdamaian dan bukan kalkulasi untung rugi jangka pendek.

Dimuat di Harian Suara Pembaruan, Senin, 7 September 2020 | https://www.beritasatu.com/aditya-l-djono/opini/7287/evaluasi-presidensi-indonesia-di-dewan-keamanan-pbb

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.