A: Kenapa lo kagum sama Prabowo?
B: Soalnya dia ga mencla-mencle. Dia mau bangun Indonesia raya. Ga kayak sekarang, Indonesia merana
A: Oh gitu
B: Kenapa komennya cuma “oh gitu”?
A: Kurang setuju aja sih gue. Kayaknya lo kurang baca sejarah…
Sedikit sekali anak muda yang suka membaca sejarah. Sejarah adalah masa lalu, masa ibu-ayah, nenek-kakek mereka. Dengan semangat berapi-api anak muda ingin membangun masa depan, bukan masa lalu, tapi karena minim referensi akhirnya mereka harus mengulang sejarah…
Dibandingkan dengan pemimpin Indonesia yang suka mencla-mencle demi pencitraan, mewujudkan ’thousand friends, zero enemy’[1] dan mengambil keberhasilan orang lain untuk kampanyenya sendiri[2], Prabowo cukup dihormati untuk maju menantang pemimpin tersebut, apalagi pada 12 Juli lalu ia menyatakan akan maju mencalon presiden. Hanya saja kekecewaan akan masa kini bukanlah sesuatu yang bijak mendasari tindakan masa depan. Pemimpin mencla-mencle tetap akan lengser selama UUD 45 tidak diamandemen untuk mengkomodasi presiden menjabat setelah dua periode. Ada baiknya untuk tidak gelap mata ujug-ujug memilih orang yang belum melalui proses evaluasi, apalagi menempati posisi yang berkuasa atas hajat hidup orang banyak.
Mari kita ulas latar belakang jagoannya si A: Prabowo. Menurut website pribadinya http://prabowosubianto.info, Prabowo adalah pensiunan tentara yang kini menjadi pengusaha (Presiden dan CEO perusahaan migas dan pulp PT Nusantara Energy; perikanan PT Jalandri Nusantara; Komisiaris perusahaan migas Karazanbasmunai di Kazakhstan dan perusahaan minyak sawit PT Tidar Kerinci Agung), pendorong usaha tani (Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), aktif di dunia persilatan (Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Indonesia) dan kepartaipolitikan (Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia Raya – Gerindra). Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (Juli 2012) dan Lingkar Survei Indonesia (Februari dan Juni 2012), posisi Prabowo sebagai kandidat Presiden Indonesia terfavorit meningkat, terutama di kalangan menengah. Alasannya adalah karena ia ”disukai, ganteng, pintar, tegas dan perhatian pada orang lain” (Kompas, 23 Feb 2012). Tidak terlalu beda dengan komentar yang saya dengar dari kawan-kawan usai menyaksikan pidato Prabowo di Singapura, awal bulan ini. Mereka menyukai pemimpin yang tegas,”tau apa yang dia mau” dan menawan. Ruangan paling besar di hotel di tengah kota Singapura itu penuh sesak saat Prabowo menyampaikan pidato pertamanya di luar negeri sebagai calon pemimpin Indonesia. Ia memaparkan secara lihai masalah yang dihadapi Indonesia (krisis energi dan kepemimpinan) dan cara menyelesaikannya (beralih ke bahan bakar alami, alias sawit-ketela-jagung, dan memilihnya menjadi pemimpin, tentu saja).
Prabowo mengatakan sangat bahagia untuk kembali ke tempat dimana dia menjalani sekolah dasarnya dan belajar banyak untuk hidup di lingkungan multi ras karena negara ini yang 70 persennya etnis Cina, 30 persen sisanya berasal dari etnis India, Malaysia dan Eurasia dengan empat bahasa nasional. Prabowo memang berasal dari kalangan borju karena keluarganya mampu menyekolahkan ia di luar negeri, termasuk SMP di Malaysia dan SMA di Inggris, maklum ayahnya Prof Soemitro Djojohadikoesoemo adalah pendiri Bank Indonesia dan mantan Mentri jaman Presiden Soekarno dan Soeharto.
Dalam kampanyenya Prabowo menyatakan salut dengan pemimpin besar Lee Kuan Yew yang sukses membangun Singapur sejak negara ini berdiri tahun 1965. Saat itu Singapur ’dibuang’ oleh Malaysia karena memprotes rasisme yang mendahulukan kalangan bumiputera dibandingkan penduduk lainnya, dan Pak Lee bersumpah untuk membangun pulau kecil ini hingga maju mengalahkan Malaysia. Pada tahun 2010 Singapur mengalahkan perekonomian Malaysia walau dengan jumlah penduduk lima kali lebih sedikit. Partai yang dibentuk Pak Lee dari semenjak Singapur dibentuk hingga sekarang masih memenangkan pemilu.
Mungkin karena sama-sama sakit hati diusir, Prabowo menjadikan Pak Lee idola. Prabowo ’dibuang’ saat ia merasa dijadikan kambing hitam ingin mengkudeta Presiden Soeharto tahun 1998. Koleganya dalam tentara Indonesia (dulu masih Angkatan Bersentaja Republik Indonesia) yang umumnya miskin dan tidak mendapat promosi secepat Prabowo (yang menikah dengan anak kedua Presiden Soeharto), dianggap bersekongkol untuk ’membiarkan’ kerusuhan dan menurunkan pemimpin Indonesia yang sudah berkuasa 32 tahun itu. Dalam wawancaranya di majalah Asiaweek, 3 Maret 2000, Prabowo menyatakan dia difitnah padahal dia sama sekali tidak pernah ”mengkhianati” Pak Harto.
Di depan sidang Dewan Kehormatan Perwira (DKP) Agustus 1998, Prabowo mengakui bahwa dialah yang memerintahkan ’Tim Mawar’ dari Komandon Pasukan Khusus (Kopassus) ABRI untuk melakukan penculikan terhadap sembilan aktivis yang menginginkan Reformasi. Enam orang dari mereka masih belum ditemukan hingga hari ini. Sebelum ini, Prabowo juga memimpin operasi penghilangan nyawa pemimpin Fretilin di Timor-Timur tahun 1976, dan sepanjang dekade 1990-an ia menjadi komando pasukan ninja yang ’menghilangkan’ kalangan separatis di daerah sama.[3] Prabowo tidak takut dan tidak merasa salah akan tindakannya karena itu semua adalah atas perintah bapak dan diperlukan untuk NKRI, oleh karena itu dia menyatakan tidak pernah ”mengkhianati negaranya” (Asiaweek, 3 Maret 2000). Tidakkah menakutkan untuk memiliki pemimpin yang tak menghargai kehidupan dan hak asasi manusia untuk kepentingan negara?
Prabowo juga dianggap salah satu dalang kerusuhan Mei 1998, saat masyarakat melakukan pengerusakan terhadap rumah dan tempat usaha, serta aksi kekerasan terhadap pengusaha dan perempuan etnis Cina. Ini karena di awal tahun Prabowo mendukung umat muslim untuk bergabung bersamanya melawan pengusaha Cina yang dianggap sebagai pengkhianat negeri, membuat Indonesia bangkrut dengan mengirim uang ke negara asal, padahal yang terjadi adalah Indonesia kere akibat terkena imbas Krisis Moneter Asia karena kebijakan ekonomi yang salah urus.
Pengusaha Cina memang mudah disalahkan sebab mereka berbeda dan kebijakan politik jaman Soeharto membedakan mereka (melalui kartu identitas berbeda, pelarangan memeluk agama Kong Hu Cu dan mengganti nama menjadi ’nama Indonesia’ yang justru menjadi aneh karena nama-nama Indonesia jenisnya banyak mulai dari Joko hingga Sitorus). Terdapat sumber yang menyatakan bahwa Prabowo ingin mengusir etnis Cina dari Indonesia[4] dan merunut bahwa pada saat sebelum kerusuhan ia memobilisasi preman dari Lampung ke ibukota.[5] Karena Prabowo dianggap bersalah, peradilan militer memberhentikannya dari jabatan militer dan ia secara sukarela mengucilkan diri ke Yordania. Ia kembali ke tanah air sebelum pemilihan umum 2004 untuk masuk kembali ke Partai Golkar namun gagal dan mendirikan partainya sendiri, dengan sabar menunggu orang lupa akan sejarah masa lalunya.
Bukannya tidak percaya bahwa manusia berubah setiap hari dan kesempatan kedua harus diberikan, namun seperti yang dikatakan oleh Ketua Badan Pengurus Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Usman Hamid, ”Kita perlu ingatkan publik akan rekam jejak [Prabowo] itu dengan bertanya pada korban atau keluarga yang kehilangan anak-anaknya pada masa lalu” (Kompas, 23 Feb 2012). Jangan sampai republik ini dipegang oleh orang yang keliru lagi.
Ibu dan ayah aktivis yang hilang, serta keluarga dan simpatisan korban kerusuhan Mei 1998 dan pelanggaran HAM masa lalu masih melakukan aksi setiap Kamis sore di depan Istana Negara, Jakarta demi menuntut keadilan. Dengan jumlah yang berkisar 30-an orang mereka menyerahkan surat tuntutan mereka dan berdiri di depan pagar istana, meminta agar anggota keluarga mereka yang hilang dipulangkan, agar para pimpinan militer yang melakukan kekerasan dihukum pantas dan meminta maaf, agar kejadian serupa tidak terulang. Jumlah mereka sedikit dibandingkan jumlah teman Prabowo (4.668), orang yang menyukai Prabowo (889,498), Gerindra (257.839), ranting partainya Perempuan Indonesia Raya (2,578) dan Tunas Indonesia Raya (4,887) di media sosial Facebook per 5 Agustus 2012. Mereka yang menyukai Prabowo dan partainya mungkin lupa akan sejarah atau abai pada kekerasan masa lalu karena mereka cukup frustasi dengan hari ini dan tak terlalu peduli akan masa depan.
Fitri Bintang Timur, anak muda yang menolak lupa. Pojok kamar, Agustus 2012
Diterbitkan oleh Sorge Magazine, Agustus 2012, bisa diunduh di sorgeagustus atau http://www.sorgemagz.com/?p=1658
[1] Alias ‘seribu teman, no musuh’ yang dilontarkan dalam pidato pembukaan Presiden SBY di Jakarta International Defence Dialogue 2011, 22 Maret 2011 di Senayan.
[2] Kesepakatan damai Aceh 2005 dinegosiakan secara aktif oleh Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Catatan kaki ini bukanlah keberpihakan pada Kalla atau kampanye karena saat Kalla memegang posisi sebagai Ketua Umum Partai Golkar (2004-2009) dia tidak memberikan penghargaan terhadap pemeluk agama lain selain Muslim dan juga pengusaha etnis Cina.
[3] Baca Ken Conboy, Kopassus: Inside Indonesia’s Special Forces, Jakarta: Equanox Publishing, 2003. Penulis Seno Gumira Ajidarma menulis tentang tim ninja dalam salah satu cerpennya di buku Saksi Mata, Jakarta: Bentang Budaya, 2003.
[4] Theodore Friend, Indonesian Destinies, Harvard: HarvardUniversity Press, 2003.
[5] Edward Aspinall, Herb Feith and Gerry van Klinken (ed.), The Last Days of President Soeharto, Victoria: Monash Asia Institute, 1999).
saya tdk peduli rekam jejak prabowo ,yg blm tentu benar alias isu,indonesia butuh dia,kalo saudara tidak suka ya terserah, kami rakyat tidak bisa kamu kibulin,nanti kalo pak prabowo jd presiden ,silahkan saudara pindah jd warga negara malaysia saja yaaa….
terima kasih atas masukannya. iya mbak/mas, opini anda silahkan ditulis dan dipublikasikan ya pendapatnya. siapa tau ada media cetak yg ingin menerbitkan
Salam Mbak Fitri
Artikel yang menarik… Namun alangkah lebih bijak bila kita memandang suatu hal tanpa adanya tendesi. Karena tendensi akan menyebabkan segala sesuatu yang masih berupa dugaan dianggap menjadi sebuah fakta.
Prabowo Subianto pernah berkata, walaupun dia beserta saudara-saudaranya besar diluar negeri, karena adanya perbedaan pendapat antara ayah beliau dan Ir. Soekarno, namun bukan berarti dia hidup bermewah-mewah, kalau tidak bisa disebut pas-pasan.
Adapun kakek beliau Margono Djojohadikusumo merupakan pendiri bank nasional pertama di Indonesia yakni BNI46. Sementara ayahnya Soemitro Djojohadikusumo pernah menjabat sebagai menteri keuangan.
Sebelumnya, sudah kah anda membaca “Buku Putih Prabowo”? sebagai pembanding informasi melalui sudut pandang Bpk. Prabowo Subianto.
Sebagai prajurit, tentu tugas utamanya ialah menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah kita sepakati bersama sebagai rumah besar kita semua. Dan jikalau Hak Asasi Manusia selalu dijadikan tameng atas upaya teror dan propaganda yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menginginkan ketidakstabilan, lantas apa yang kita inginkan? Membiarkan para separatis melakukan tindakan makar sebebas-bebasnya? Atau membiarkan sekumpulan orang merencanakan permufakatan untuk membuat huru hara?
Lantas apakah kita menutup mata apabila ada rakyat yang menginginkan ketentraman tanpa adanya aksi2 separatisme, atau upaya chaos, itu tidak disebut sebagai Hak Asasi juga? Dan setiap hal selalu melahirkan dua kutub yang berlawanan.
Bagaimanapun kita juga harus berdoa agar para orang tua yang masih kehilangan anaknya, dapat mendapatkan keadilan dari Negara, dan kekuatan dari Tuhan YME.
Perlu diketahui, 3 orang yang katanya diculik Tim Mawar, saat ini bergabung di Gerindra. Mereka adalah Haryanto Taslam, Desmon J Mahesa, dan Pius Lustrilanang.
Prabowo Subianto tidak pernah menghianati Soeharto sebagai panglima komando tertinggi, dan juga tidak pernah ingin untuk menghianati rakyat dari bangsa yang selalu dicintainya ini. Dalam “Buku Putih Prabowo” dijabarkan bagaimana upaya beliau untuk menjaga keduanya, pada akhirnya membuat beliau malah menerima konsekwensi terburuk.
Dikucilkan dan dipisahkan dari istrinya, serta dianggap bertanggung jawab atas hilangnya beberapa aktivis. Dan memasang badan untuk mengaku bertanggung jawab, disaat yang lain bungkam. Bahkan hingga detik ini bukti-bukti tidak cukup kuat untuk membawa beliau ke pengadilan.
Demi bangsa yang dicintainya, beliau kembali ke Indonesia, disaat masih banyak orang yang mencibirnya. Beliau kembali dengan segala resiko yang siap ditanggung. Padahal dengan statusnya yang diangkat sebagai warga kehormatan Jordania, serta jaringan bisnis yang berhasil dibangun, buat apa bersusah-susah kembali?
Tetapi beliau kembali, untuk berupaya membantu bangsanya bangkit dari keterpurukan, dan bisa sejahtera rakyatnya, dan di segani bangsa-bangsa lain didunia.
Prabowo memang bukanlah sosok dewa. Beliau jugalah manusia seperti kita semua yang tidak luput dari salah dan khilaf. Namun sebagai manusia, beliau juga punya sisi baik, sisi positif.
Dan untuk itulah pendukung beliau semakin bertambah dari hari kehari. Bukan mereka lupa, tetapi mereka juga punya harapan, minimal untuk hidup mereka sendiri.
“Saya penganut falsafah Jawa ‘Sing Becik Ketitik, Sing Olo Ketoro’, artinya yang baik akan ketahuandan yang buruk juga ketahuan” – Prabowo Subianto
Salam Indonesia Raya
Terima kasih atas komen Anda. Selamat berkompetisi di Pilkada dan Pemilu Indonesia.
“Di depan sidang Dewan Kehormatan Perwira (DKP) Agustus 1998, Prabowo mengakui bahwa dialah yang memerintahkan ’Tim Mawar’ dari Komandon Pasukan Khusus (Kopassus) ABRI untuk melakukan penculikan terhadap sembilan aktivis yang menginginkan Reformasi. Enam orang dari mereka masih belum ditemukan hingga hari ini.”
Ini merupakan dua kalimat. Namun untuk kalimat yang kedua (Enam orang dari mereka masih belum ditemukan hingga hari ini) menurut saya sangat menyesatkan masyarakat karena 9 aktivis yang di culik oleh tim mawar sudah kembali kekeluarganya masing-masing.
Terus kemana enam aktivis yang dimaksud? Ini yang menjadi tanda tanya mengapa isu yang beredar adalah ke enam yang masih hilang menjadi tanggung jawab tim Mawar padahal masih ada pangdam dan pangab. Fakta dan jangan lupa bahwa tidak hanya kopassus yang berperan untuk mengamankan keamanan negara.
#MenolakLupa
Terima kasih atas komen Anda. Saya menuliskannya dalam satu paragraf karena ingin membuat kalimat kedua bertautan dengan kalimat pertama. Menurut saya perlu untuk disebutkan secara spesifik siapa yang bertanggung jawab, karena kalau melebar, kita semua memang bisa dianggap bertanggung jawab karena pembiaran bahwa kejadian ini bisa terjadi begitu saja tanpa keadilan ditegakkan. Tidak hanya saya yang merasa bahwa masih ada yang dapat kita lakukan terhadap orang hilang, termasuk majalah Tempo yang menerbitkan edisi khusus Wiji Thukul bulan Mei 2013 lalu.
Untuk mengedukasi masyarakat soal sejarah, sebaiknya sumber sejarahnya juga lengkap, sehingga cerita ini benar-benar mengenai sejarah, dan bukan cerita mengenai “persepsi hari ini tentang sejarah”.
Masyarakat kita memang mudah lupa. Dan mudah lupa itu termasuk “mudah-lupa” untuk mempelajari arsip sejarah dengan detail. Apakah Mbak Fitri membaca buku kesaksian Pius yang terbit beberapa bulan setelah ia dilepaskan pada April 1998 dulu? Atau buku kesaksian yang ditulis Haryanto Taslam, yang ditulis ketika ia belum masuk ke dalam partainya Prabowo?
Dua buku itu ditulis ketika keduanya masih berposisi “bebas”, sehingga kita bisa menempatkan kesaksian keduanya sebagai bahan untuk merekonstruksi sejarah. Jika kita membaca dua buku itu, dan juga laporan Tempo dalam edisi khusus Wiji Thukul, seorang peneliti yang cermat pasti akan ketemu fragmen menarik yang mirip pada ketiganya. Baik dalam kesaksian Pius maupun Haryanto, sejak hari-hari pertama mereka diculik, keduanya memiliki keyakinan bahwa mereka tidak akan dibunuh, karena para penculiknya mengatakan: kamu di sini dulu sampai SU MPR selesai. Ada juga kalimat lain: untung kamu (dalam hal Haryanto, karena faktor usia, dia dipanggil “Bapak” oleh penculiknya) kami yang ambil…
Fragmen itu mirip dengan laporan Tempo dalam edisi Wiji Thukul ihwal seorang anak PRD yang diambil dari kesatuan lain oleh penculiknya dan ketika sudah diangkut di mobil diberi tahu: untung kamu berhasil kami ambil…
Apa maksud para penculik (dari korban yang selamat itu) mengatakan hal-hal itu kepada para aktivis yang diculiknya?! Dan para penculik yang mengatakan itu belakangan disebut sebagai Tim Mawar.
Kosakata “untung KAMI yang ambil”, yang diceritakan oleh mereka yang selamat (atau lebih tepatnya: diselamatkan?!) itu secara jelas menggambarkan bahwa selain “kami” ada juga yang “lainnya”. Oleh karenanya, berpendirian bahwa kasus penculikan 1998 merupakan tanggungan Tim Mawar/Kopassus sepenuhnya adalah pendirian yang sepenuhnya mengabaikan data dan fakta.
Jika para penculik korban yang selamat itu memang berniat menghilangkan nyawa para aktivis tersebut, maka orang seperti Haryanto mungkin tidak perlu diberi dokter khusus. Haryanto, yang waktu itu menjadi Wasekjen PDI-Megawati, memang menderita hipertensi. Dan oleh para penculiknya dia disediakan dokter yang siaga datang bila diperlukan. Setiap hari menu Haryanto dibedakan dari aktivis lainnya dan juga disediakan obat untuk mengatasi penyakit hipertensinya. Bukankah itu perlakukan yang ganjil jika tim penculik itu adalah sejahat sebagaimana yang dituduhkan banyak orang?!
Tugas sejarah adalah menjernihkan semua itu, dan bukannya kukuh pada praduga yang tak berdasar. Menulis sejarah tanpa metode sejarah hanya akan mengaburkan sejarah dan melanggengkan stigma saja. Kecuali untuk mengukuhkan stigma, sebaiknya setiap tulisan sejarah harus mengumpulkan sumber yang lengkap.
Kalau kita baca Asiaweek, majalah Asiaweek pernah meralat berita yang dimuatnya dan memojokan Prabowo dengan menuliskan sebuah laporan investigasi panjang mengenai kerusuhan 1998. Hasil investigasinya mencengangkan: secara verbal Asiaweek menulis bahwa Prabowo adalah korban dari intrik istana dan semua tuduhan bahwa ia adalah dalang kerusuhan Mei hanyalah lelucon.
Mungkin rujukan Mbak Fitri adalah laporan TGPF. Kalau saja Mbak Fitri meluangkan waktu untuk membaca lagi kliping-kliping surat kabar atau majalah mengenai laporan TGPF, bahkan ada anggota TGPF sendiri yang mengatakan bahwa kerja TGPF sangat tendensius, karena sejak awal semuanya diarahkan untuk menghantam Prabowo. Makanya kesimpulan TGPF banyak memuat “lelucon”. Salah satunya yang menyebut pertemuan Prabowo di Makostrad (saya lupa tanggalnya) sebagai rapat untuk merancang kerusuhan. Padahal pada tanggal yang disebut TGPF itu, pertemuan di Makostrad itu adalah pertemuan Prabowo dengan para tokoh oposan, seperti Buyung, Rendra, Bambang Widjojanto, dan sejumlah intelektual lain yang hendak menanyakan perkembangan terakhir keamanan di Jakarta. Bukankah itu temuan “fakta” yang dagelan?! Bagaimana bisa membayangkan Rendra, Buyung dan lain-lain merancang sebuah kerusuhan.
Begitulah jika sejarah ditulis dengan praduga dan stigma.
Lantas, siapa yang bertangggung jawab atas kasus penculikan aktivis 1998?
Pada Desember 1998, Prabowo mengirimkan faks kepada seluruh surat kabar yang menyatakan dia siap dihadapkan kepada Mahmil agar bisa membongkar semuanya. Tapi ada sebuah wawancara di sebuah media terkemuka nasional (Tabloid ADIL) dengan seorang perwira anonim yang mengatakan bahwa kasus penculikan akan “diselesaikan di Tim Mawar dan cukup Dewan Kehormatan Perwira” saja, artinya tidak akan di-Mahmil-kan. Kenapa? Menurut perwira itu, agar otaknya tidak ikut terseret. Dengan jelas perwira itu mengatakan bahwa Prabowo hanya salah satu pelaksana, dan bukan otaknya.
Sampai di sini kita boleh mengajukan pertanyaan hipotetis: Diseretnya Tim Mawar dan Prabowo pada 1998 itu sebenarnya apakah (1) karena mereka melakukan penculikan, atau sebenarnya (2) karena mereka melepaskan orang yang diculiknya?!
Baik Andi Arief, Desmond, maupun Haryanto menolak memberikan kesaksian yang memberatkan Tim Mawar pada proses pengadilan dulu. Kenapa bisa begitu, padahal waktu itu mereka adalah korban? Seandainya kita hari ini menganggap bahwa orang seperti Pius, Desmond, atau Haryanto adalah orang yang bisa “dibeli” karena telah bergabung dengan Prabowo, yang dituduh menculiknya, kenapa orang seperti Andi Arief yang notabene berada pada pihak yang secara politik berseberangan dan bahkan bermusuhan dengan Prabowo juga tidak berusaha untuk “menghabisi” Prabowo terkait kasus penculikan, seandainya memang Prabowo dan anak buahnya melakukan semua yang dituduhkan publik kepada mereka?!?!
Jika Mbak Fitri meminati sejarah, pertanyaan-pertanyaan itu adalah contoh pertanyaan metodik. Tanpa metode dan sumber yang kaya, niscaya sejarah hanya sekadar dongeng yang penuh stigma.
Lelucon ya? Sebaiknya Tim Mawar mengakui penyiksaan seperti apasajakah yang mereka lakukan biar lawakannya dibagi, Put. Selain itu saya juga menyilahkan Prabowo dan Tim Mawar menyebutkan nama-nama pihak lain yang melakukan penculikan dan penghilangan paksa untuk membawa ke pengadilan.
Iya saya juga lebih condong itu lelucon.
1. ABRI tidak bertindak tanpa Komando. Prabowo blg dia terima daftar. Berarti ada yang memberi daftar. Pangabkah? Pangtikah?
2. Pemecatan di TNI juga mengherankan mengingat penghilangan aktivis terjadi sepanjang ORBA, 32 tahun. Bahkan sejak Pak Bowo baru lulus militer. Mengapa hanya dia yg dipecat atas tuduhan tersebut padahal 9 yg jadi tanggung jawab dia dilepaskan dengan selamat?
Asal tahu saja Mbak fitri, saya tahu militer tidak mengenal praduga tak bersalah tapi PRADUGA BERSALAH. Terbukti atau tidak detensi itu pasti.
3. Kalau mbak fitri memaksa pak bowo jelaskan, di salah satu wawancara beliau pernah bilang: Silahkan saja, toh saya tidak kemana-mana. Toh sudah dijelaskan juga di DKP.
Menyebutkan pihak-pihak lain? Pinter dikit atuh mbak mikirnya.
4. Lupa ya, TNI punya jiwa korsa. Prabowo pernah bilang: Once a soldier always a soldier. Dia tidak akan mungkin melucuti instansinya sendiri meskipun dipecat dengan tidak hormat, misalkan pun dia tau siapa lagi yg terima perintah serupa.
5. Saya yakin si “empunya perintah” tidak akan sebodoh itu memberikan perintah semacam itu secara terbuka walaupun internal TNI. Pasti mainnya bersih, perintah itu sifatnya rahasia. Saya yakin pak bowo tidak akan tahu siapa lagi yang terima perintah selain dia. Kalo nggak ya pasti penghilangan aktivis puluhan taun itu bocor kmn-mana dan bukan Pak Bowo saja yg dipecat.
Jika prabowo mau menjadikan indonesia seperti singapura maka pribumi akan dihapus dari negeri ini digantikan cina yang menguasai indonesia dan merajalela, alias indonesia dijajah cina luar dalam karena dia dari etnis tersebut
apakah politik identitas adalah hal yang pantas untuk dibahas untuk memegang jabatan politik negara? apakah Prabowo memilih lahir sebagai cina, sebagai mana Anda apakah memilih lahir sebagai pribumi? apakah pernyataan Anda rasional ataukah sekadar rasisme? kalau merasa kaummu kurang (atau belum) menguasai Indonesia mulai bekerja keraslah daripada menyuruh orang lain tidak berbuat apa-apa
setiap orang pasti pernah melakukan dosa, setiap orang bila di ulik terus, dicari2 kekesalahannya pasti ada. mengkritik & pembunuhan karakter memang mudah. yang kita perlukan adalah pemimpin yg punya visi (siapapun itu ,yg pasti bukan yg sekarang). semoga paham..
Racist banget O.o
Kalau bisa milih, gak akan ada “Cina” yang mau dilahirkan di negara seperti ini deh
Mendingan Jokowi ha hah a ha
Nice Inpoh, Fitri! Banyak yang terguncang jiwanya membaca fakta sejarah. Tidak terima junjungannya dikuliti. Melawan lupa mode On…